Pemikiran ‘radikal’ ini sering sekali muncul dari otak saya. Setiap hari (kecuali minggu, hari besar & tanggalan merah) saya selalu dihadapkan dengan pendidikan ‘umum’ di sekolah. Tetapi, apakah semua ilmu ini akan berguna nanti? Apakah efektif? Di sekolah banyak sekali ilmu yang diajarkan: Matematika, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi, Sejarah, Kewarganegaraan, Seni, Olahraga, Ekonomi, Komputer, Sosiologi, dll. Di kelas 10 ada 14 mata pelajaran! Wow! Banyak yah? Tapi lebih nonsense daripada useful.
Ini fakta! Dari semua pelajaran yang seabreg itu, yang kemungkinannya bakal bermanfaat cuma sebagian kecil. Usefullness dari ilmu yang kita dapat itu bergantung pada profesi kita nanti. Biologi tak akan berarti apa-apa buat Sastrawan. Ekonomi itu bukan urusan Ilmuwan. Petani akan bilang masa bodoh soal Fisika. Desainer enggak akan ambil pusing tentang Kimia. Kira-kira seperti itulah.
Saya sendiri, yang dalam pandangan ini bercita-cita menjadi seorang IT manager, terus terang jengkel… Hey, siapa yang peduli bagaimana cara cacing buang air besar? (biologi). Terlalu banyak kesia-siaan.
Hal ini diperparah dari keterbatasan otak manusia itu sendiri. Setelah naik menjadi kelas 11, saya sadar, bahwa 90% dari yang saya telah pelajari sepanjang tahun (terutama hafalan non eksak) sudah saya lupakan. Saya memang bukan orang yang beringatan kuat, tapi teman-teman saya juga mengalami hal yang sama. Jadi, what’s the point? Waktu itu berharga!
Sementara saya yakin, semua orang juga sebenarnya tahu, otak orang itu berbeda-beda. Kemampuan seseorang itu berbeda-beda. Minat orang juga berbeda-beda. Tidak efektif, bila keberagaman itu dipaksakan dalam satu sistem yang homogen. Keinginan saya sebetulnya adalah, agar kita bisa memilih mata pelajaran apa yang akan kita pelajari. Katakanlah, selain mata pelajaran inti (Matematika, Bhs. Indonesia, Bhs Inggris, Komputer dasar) saya memilih Elektronika, Komputer advanced, dan Fisika. Maka saya bisa lebih terkonsentrasi dalam belajar dan mengejar cita-cita saya. Contoh lain, seseorang yang ingin menjadi arkeolog bisa memilih Sejarah, Geografi, Sosiologi. Sehingga lebih banyak ilmu yang akan bermanfaat baginya.
Mungkin ada orang yang bilang, “Kalau begitu semua orang akan memilih jalan profesi yang dia inginkan, tapi kan belum tentu dia mampu untuk itu!”. Kepala sekolahku juga pernah bilang semacam itu. Katanya, banyak anak ingin masuk ke IPA tapi tidak mampu. Ada benarnya, tapi menurut saya, minat dan ketekunan amatlah berkaitan.
Bila seseorang ‘terpaksa’ mempelajari sesuatu, maka dia juga akan mempelajarinya ogah-ogahan. Ilmu yang diserapnya juga seadanya saja. Dia hanya akan belajar kalau ada ulangan. Berbeda bila hal itu memang ilmu yang dia-damba-dambakan. Bahkan biarpun dia tidak mengerti pada awalnya, dia akan terus berusaha memahaminya, hingga akhirnya berhasil. Dia tak gampang menyerah. Sehingga kualitas SDMnya juga baik.
Radikal, ya, ini pemikiran radikal memang. Tapi semoga pak menteri pendidikan berikutnya lebih berpikir kesini. Kurikulum konvensional sekarang menjemukan. Ini pengakuan dari seseorang yang sedang menjalaninya!